Tragedi Baju Lebaran dan Pembunuhan pada Zaman Belanda

by -21 Views

Menjelang hari suci umat Islam, kebutuhan masyarakat akan baju baru demi merayakan Lebaran harus seimbang dengan pendapatan yang dimiliki. Keputusan untuk tidak memenuhi permintaan baju baru istri dapat membuka peluang terjadinya aksi kriminal, seperti yang terjadi pada perayaan Idul Fitri 1350 H di Jakarta.

Kisah tragis seorang istri yang dibunuh oleh suaminya sendiri di Tanjung Priuk menjelang Lebaran menjadi sorotan di koran De Indische courant (9 Mei 1932). Sang istri meminta baju baru kepada suaminya, Telo bin Saleh, namun permintaannya ditolak karena alasan ekonomi. Karena terus mendesak dan merengek, akhirnya pertengkaran tersebut berakhir dengan kematian sang istri.

Kejadian ini bukanlah fenomena baru, terbukti dari kasus serupa beberapa tahun sebelumnya dan tradisi pembelian baju baru menjelang Lebaran bukan hal yang asing bagi masyarakat Indonesia. Meskipun pemerintah kolonial Belanda sempat menilai kebiasaan ini sebagai pemborosan, namun kegembiraan dan perayaan menjelang Lebaran dianggap penting bagi masyarakat.

Kebiasaan membeli baju baru menjelang Hari Raya, bahkan lebih disukai daripada membeli bahan pangan, terlihat dalam tradisi di Aceh dan Jakarta. Meskipun beban ekonomi menjadi alasan pribumi untuk berhemat, namun tradisi merayakan Lebaran dengan sukacita tetap terjaga dan tidak dapat dipaksakan untuk berubah.

Kisah tragis pembunuhan akibat permintaan baju baru ini menjadi peringatan bagi masyarakat agar selalu memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan dan pendapatan, serta pentingnya merayakan momen penting seperti Lebaran dengan penuh kebahagiaan. Tradisi yang sudah lama terpelihara ini, meskipun kini telah berubah zaman, tetap menjadi bagian dari budaya dan kehidupan masyarakat Indonesia.

Source link